Kesetaraan di Masjid Meninggalkan Status Duniawi
Manusia seringkali menilai kepentingan seseorang berdasarkan kedudukan atau harta benda. Misalnya, ketika orang kaya datang ke masjid, sering kali saf sudah disiapkan meskipun orang tersebut belum datang. Demikian pula dengan pejabat, saf mereka sudah dinomori.
Ini adalah standar manusia yang berbeda-beda, sehingga di masjid semua orang diperlakukan sama.
Bayangkan jika saf di masjid diatur berdasarkan gelar: Profesor di saf pertama, Doktor di saf kedua, dan yang tidak sekolah mungkin harus ke toilet. Tentu saja ini tidak adil. Oleh karena itu, di masjid, semua orang memiliki hak yang sama. Status duniawi berhenti ketika memasuki rumah Allah, yang disebut Baitullah atau Masjid.
Dalam Al-Qur'an, istilah "masajidallah" (masjid-masjid Allah) pertama kali disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 114. Selain itu, Surah At-Tawbah ayat 18
menjelaskan bahwa masjid-masjid harus dimakmurkan, dan ini selalu dikaitkan dengan Allah sebagai pemiliknya. Tidak ada yang boleh mengklaim masjid sebagai miliknya sendiri, meskipun ia merawatnya. Semua aturan harus mengikuti ketentuan Allah.
Meskipun ada pengelola masjid yang bertanggung jawab atas kemakmuran dan pengelolaannya, mereka tidak boleh melebihi kapasitas mereka seolah-olah menjadi pemilik mutlak.
Pengelola harus mengikuti aturan Allah dalam menata ibadah dan mengelola harta di masjid.
Jika seseorang menyumbang besar untuk pembangunan masjid, itu tidak berarti mereka memiliki kekuasaan mutlak atas masjid tersebut.
Harta itu tetap milik Allah, dan orang yang menyumbang hanya diberi kesempatan untuk mendapatkan pahala.
Allah menekankan bahwa standar manusia sering kali berfokus pada harta, kedudukan, atau ilmu, tetapi di sisi Allah, yang paling penting adalah takwa.
Manusia yang memiliki harta melimpah, kedudukan tinggi, atau pengetahuan luas, tetapi tidak memiliki takwa, tidak bernilai di hadapan Allah.
Contoh sejarah seperti Namrud dan Firaun menunjukkan bagaimana Allah merendahkan mereka yang sombong dan menentang-Nya. Namrud, yang mengaku sebagai Tuhan, mati hanya karena gigitan nyamuk. Firaun, yang juga mengaku sebagai Tuhan, mati tenggelam.
Ini menunjukkan bahwa status dan kekuasaan manusia tidak ada artinya di hadapan Allah jika tidak disertai takwa.
Dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan beragam untuk saling mengenal dan membangun hubungan sosial, tetapi di hadapan Allah, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa.
Oleh karena itu, seseorang yang sederhana tetapi berusaha mengenal dan menaati Allah akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi di hadapan-Nya daripada mereka yang hanya bangga dengan status duniawi.
Kesimpulannya, di masjid, semua orang diperlakukan sama tanpa memandang status duniawi. Yang paling penting adalah takwa, bukan harta, kedudukan, atau ilmu. Ini adalah standar Allah yang harus kita pahami dan patuhi.
0 Comments